Goresan
Terakhir Sahabatku
Oleh Handhika Pratama
Putri Y (X-1/05)
Sudah
8 tahun semenjak kejadian itu aku tak melihatmu lagi. Aku memang tidak ingin
kita berpisah. Tapi karena orang tuaku lah yang harus pindah ke luar kota untuk
memulai hidup baru di sana. Aku tak pernah inginkan semua ini terjadi. Setelah
hari – hari indah yang kulewati bersamamu.
Namaku
Permata Tian Alarysta yang sering dipanggil Tian dan Sahabatku yang bernama
Silvia Anindya Rachma yang sering kupanggil Silvi. Pertemanan kami bermula saat
aku pindah ke Kota Bandung, tepatnya aku adalah tetangga baru Silvi. Baru satu
bulan aku menjadi tetangga barunya, kami sudah akrab. Bahkan setelah pekerjaan
Papaku menetap di Kota Bandung, kami sering sekali bermain dan belajar bersama.
Tempat kesukaan
kami adalah bukit kecil yang indah sekali dengan Pohon kelengkeng yang sudah
cukup tua dan tak lagi berbuah. Pohon itu menjadi tempat kami berteduh. Silvi
selalu memboncengku dengan sepeda pinknya mengitari bukit kecil itu. Aku selalu
membawa roti isi kesukaanku untuk kita berdua. Sambil makan roti isi yang kubawa,
kami melihat rumah kami yang terlihat kecil dari bukit kecil kami. Saat Silvi
pergi ke rumah neneknya di Bogor, aku merasa sangat kesepian. Aku pun pergi ke
bukit kecil itu dan mengukirkan sesuatu di pohon kelengkeng itu. Silvi pun pulang
dengan membawa oleh – oleh untukku. Gelang manis yang terbuat dari kayu dengan
manik – manik yang lucu. Kayu itu bertuliskan namaku dan namanya. Aku senang
sekali.
Aku terkejut dan
benar – benar marah saat perbincanganku dengan Papa dan Mama. Kenapa mereka
sangat egois? Kami selalu berpindah – pindah sesuai tempat kerja Papa. Aku
memang tak pernah protes soal hal itu. Namun aku merasa nyaman di kota ku
sekarang, dan prestasi sekolahku meningkat, apalagi aku sekarang mempunyai sahabat
yang sebenarnya. Silvi adalah sahabat terbaikku. Apakah aku harus kehilangan
semua yang kumiliki jika kelak aku benar – benar akan meninggalkan tempat ini?
Sebelumnya aku tak pernah bisa beradaptasi secepat ini. Aku benar – benar sudah
nyaman dan mencintai tempat tinggalku sekarang. Apakah aku akan dengan lantang
mengatakan hal ini kepadanya?
Pagi – pagi
sekali, Silvi sudah menungguku di bawah Pohon Kelengkeng. Ia hanya menatapku
dan aku hanya membisu. Keadaan waktu itu benar – benar sunyi. Hanya suara
ramainya Kota Bandung yang terdengar samar – samar. Maka kukatakan semuanya
padanya pagi itu. Bahkan aku sudah memintanya untuk mengantarku ke bandara
mungkin untuk yang terakhir kalinya karena kata Papa sulit untuk kembali lagi
ke Kota Bandung. Sore itu aku berangkat ke bandara tanpa Silvi. Kata mamanya,
Silvi pergi entah kemana dan sampai sore itu belum pulang. Aku sempat merasa
sedih. Namun ku berpikir kalau Silvi dalam perjalanan pulang dan akan
menyusulku ke bandara.
Bandara ini
memang ramai, namun di tengah – tengah keramaian ini aku merasa sepi tanpamu,
Silvi. Aku masih menunggu di ruang tunggu. Sampai keberangkatanku tiba, aku
masih menunggu. Akhirnya Papaku angkat bicara “mungkin dia bukan sahabat yang
baik yang kamu anggap selama ini”. Saat itu juga aku merasa sedih sekali.
“Tian ….” Suara mama
melenyapkan lamunan Tian. Tian kembali pada dunianya yang sekarang. Namun
lamunan kejadian 8 tahun silam itu menggangu pikirannya. “apa ma ..?” jawab
Tian saat ia tersadar dari lamunannya. wajah cantik dan senyuman itu masih
terlihat jelas dalam benak Tian. “kamu pasti kaget. Coba tebak, apa kado dari
Papa?” tanya mama yang berjalan mendekat. “Emang apa ma?” Tanya Tian yang
merasa cuek akan kado dari Papa. “Papa akan mengajakmu ke Bandung untuk menemui
client papa.” Tiba – tiba papa sudah diambang
pintu. “aku nggak ikut!” Jawab Tian singkat. “kamu kan juga sekaligus menengok
temanmu Silvi itu?” kata papa yang tau apa yang diinginkan Tian. “bener pa?
kalo gitu kita berangkat sekarang juga!” Seru Tian yang melukiskan sebuah
senyuman di wajahnya. Papa, mama, dan Tian pun berangkat pagi itu juga.
Sesampainya di
sana, ingatan 8 tahun yang lalu, saat pertama kali Tian datang ke Bandung memenuhi
kepalanya. Kejadian itu melintas begitu saja di kepalanya. Sesaat Tian menahan
tangis. Namun tangis itu tertelan ketika mereka sampai di rumah Tian yang dulu.
Kini Rumah itu di tempati oleh keluarga rekan kerja papa yang membelinya sesudah
mereka pindah. Tian melihat ke seberang jalan dimana itu adalah rumah Silvi.
Tanpa basa – basi Tian meminta ijin kepada papa dan mamanya untuk pergi kerumah
Silvi.
Sesampainya di
sana, Tian mengetuk – ngetuk pintu rumah Silvi. Mama Silvi pun keluar. “Tiaan
…” panggil mama Silvi dengan wajah heran sambil meraba telapak tangan Tian. Mama Silvi pun mengajak masuk Tian dan
membawanya ke sebuah kamar. Pintu kamar itu bertuliskan Silvia Anindya Rachma.
Tian degdegan karena ingin cepat bertemu dengan Silvi. Namun yang dilihatnya
hanyalah kamar biasa dan tak ada Silvi di dalamnya. Tian masuk perlahan – lahan
sementara matanya memeriksa seluruh sudut ruangan itu. Dilihatnya sebuah buku
diatas meja belajar Silvi. “itu buku hariannya.” Kata mama Silvi lembut. Tian
masih belum mengerti apa yang terjadi dan dimana Silvi sekarang? Mama Silvi
menyuruh Tian membaca semua tulisan pada buku hariannya.
Ternyata sebelum
sampai bandara, Silvi mengalami kecelakaan lalu lintas. Silvi nekat menerobos
lampu merah karena ia terburu – buru. Dari arah yang berlawanan, sebuah truk
yang membawa barang – barang berat langsung menghantam motor Silvi. Ambulan pun
segera datang dan membawa Silvi ke Rumah Sakit terdekat. Namun Tuhan berkata
lain, Ia menghembuskan napas terakhirnya di ruang UGD. “hanya satu kalimat
terakhir darinya yang sempat mama dengar.” Kata mama Silvi setelah menceritakan
kronologis kejadian itu kepada Tian. Seketika dada Tian sesak. Air matanya
mengalir begitu saja. Ia benar – benar tak menyangka akan seperti ini jadinya.
“Tian, kamu adalah sahabat terbaikku..” lanjut mama Silvi. Tian benar – benar
merasakan dadanya sesak sekali. Sulit untuknya menarik napas panjang – panjang.
“kenapa vi? Kenapa kamu tinggalin aku?” isak Tian sambil memeluk diary Silvi. Harum
parfum kesukaan Silvi masih melekat pada diarynya. Didapatnya gelang persahabatan
mereka yang kini samar – samar berwarna merah lalu digenggamnya dengan erat. Tangan
mama Silvi pun terulur untuk memeluk dan menenangkan Tian. “sudahlah, kamu bisa
membuatnya bangga di surga sana. Silvi akan selalu melihat senyummu, bukan
tangismu.” Kata mama Silvi. “saya harus pergi ke suatu tempat ma..” kata Tian
lalu segera menuju ke suatu tempat. Dengan air matanya yang masih mengalir, ia
berlari secepat mungkin. Ia mendaki bukit kecil itu lalu di peluknya dengan
erat pohon yang telah terukir nama mereka dan disatukannya gelang miliknya
dengan gelang milik Silvi. Hanya gelang itulah yang kini bisa ia bawa dan ia
simpan. Sambil meraba ukiran itu, Tian berkata “maafkan aku Silvi, kamu satu –
satunya sahabat terbaikku.”
0 komentar