Pages

Senin, 22 April 2013

Goresan Terakhir Sahabatku


Goresan Terakhir Sahabatku

Oleh Handhika Pratama Putri Y (X-1/05)

            Sudah 8 tahun semenjak kejadian itu aku tak melihatmu lagi. Aku memang tidak ingin kita berpisah. Tapi karena orang tuaku lah yang harus pindah ke luar kota untuk memulai hidup baru di sana. Aku tak pernah inginkan semua ini terjadi. Setelah hari – hari indah yang kulewati bersamamu.

            Namaku Permata Tian Alarysta yang sering dipanggil Tian dan Sahabatku yang bernama Silvia Anindya Rachma yang sering kupanggil Silvi. Pertemanan kami bermula saat aku pindah ke Kota Bandung, tepatnya aku adalah tetangga baru Silvi. Baru satu bulan aku menjadi tetangga barunya, kami sudah akrab. Bahkan setelah pekerjaan Papaku menetap di Kota Bandung, kami sering sekali bermain dan belajar bersama.

Tempat kesukaan kami adalah bukit kecil yang indah sekali dengan Pohon kelengkeng yang sudah cukup tua dan tak lagi berbuah. Pohon itu menjadi tempat kami berteduh. Silvi selalu memboncengku dengan sepeda pinknya mengitari bukit kecil itu. Aku selalu membawa roti isi kesukaanku untuk kita berdua. Sambil makan roti isi yang kubawa, kami melihat rumah kami yang terlihat kecil dari bukit kecil kami. Saat Silvi pergi ke rumah neneknya di Bogor, aku merasa sangat kesepian. Aku pun pergi ke bukit kecil itu dan mengukirkan sesuatu di pohon kelengkeng itu. Silvi pun pulang dengan membawa oleh – oleh untukku. Gelang manis yang terbuat dari kayu dengan manik – manik yang lucu. Kayu itu bertuliskan namaku dan namanya. Aku senang sekali.

Aku terkejut dan benar – benar marah saat perbincanganku dengan Papa dan Mama. Kenapa mereka sangat egois? Kami selalu berpindah – pindah sesuai tempat kerja Papa. Aku memang tak pernah protes soal hal itu. Namun aku merasa nyaman di kota ku sekarang, dan prestasi sekolahku meningkat, apalagi aku sekarang mempunyai sahabat yang sebenarnya. Silvi adalah sahabat terbaikku. Apakah aku harus kehilangan semua yang kumiliki jika kelak aku benar – benar akan meninggalkan tempat ini? Sebelumnya aku tak pernah bisa beradaptasi secepat ini. Aku benar – benar sudah nyaman dan mencintai tempat tinggalku sekarang. Apakah aku akan dengan lantang mengatakan hal ini kepadanya?

Pagi – pagi sekali, Silvi sudah menungguku di bawah Pohon Kelengkeng. Ia hanya menatapku dan aku hanya membisu. Keadaan waktu itu benar – benar sunyi. Hanya suara ramainya Kota Bandung yang terdengar samar – samar. Maka kukatakan semuanya padanya pagi itu. Bahkan aku sudah memintanya untuk mengantarku ke bandara mungkin untuk yang terakhir kalinya karena kata Papa sulit untuk kembali lagi ke Kota Bandung. Sore itu aku berangkat ke bandara tanpa Silvi. Kata mamanya, Silvi pergi entah kemana dan sampai sore itu belum pulang. Aku sempat merasa sedih. Namun ku berpikir kalau Silvi dalam perjalanan pulang dan akan menyusulku ke bandara.

Bandara ini memang ramai, namun di tengah – tengah keramaian ini aku merasa sepi tanpamu, Silvi. Aku masih menunggu di ruang tunggu. Sampai keberangkatanku tiba, aku masih menunggu. Akhirnya Papaku angkat bicara “mungkin dia bukan sahabat yang baik yang kamu anggap selama ini”. Saat itu juga aku merasa sedih sekali.

“Tian ….” Suara mama melenyapkan lamunan Tian. Tian kembali pada dunianya yang sekarang. Namun lamunan kejadian 8 tahun silam itu menggangu pikirannya. “apa ma ..?” jawab Tian saat ia tersadar dari lamunannya. wajah cantik dan senyuman itu masih terlihat jelas dalam benak Tian. “kamu pasti kaget. Coba tebak, apa kado dari Papa?” tanya mama yang berjalan mendekat. “Emang apa ma?” Tanya Tian yang merasa cuek akan kado dari Papa. “Papa akan mengajakmu ke Bandung untuk menemui client papa.” Tiba – tiba papa sudah diambang pintu. “aku nggak ikut!” Jawab Tian singkat. “kamu kan juga sekaligus menengok temanmu Silvi itu?” kata papa yang tau apa yang diinginkan Tian. “bener pa? kalo gitu kita berangkat sekarang juga!” Seru Tian yang melukiskan sebuah senyuman di wajahnya. Papa, mama, dan Tian pun berangkat pagi itu juga.

Sesampainya di sana, ingatan 8 tahun yang lalu, saat pertama kali Tian datang ke Bandung memenuhi kepalanya. Kejadian itu melintas begitu saja di kepalanya. Sesaat Tian menahan tangis. Namun tangis itu tertelan ketika mereka sampai di rumah Tian yang dulu. Kini Rumah itu di tempati oleh keluarga rekan kerja papa yang membelinya sesudah mereka pindah. Tian melihat ke seberang jalan dimana itu adalah rumah Silvi. Tanpa basa – basi Tian meminta ijin kepada papa dan mamanya untuk pergi kerumah Silvi.

Sesampainya di sana, Tian mengetuk – ngetuk pintu rumah Silvi. Mama Silvi pun keluar. “Tiaan …” panggil mama Silvi dengan wajah heran sambil meraba telapak tangan  Tian. Mama Silvi pun mengajak masuk Tian dan membawanya ke sebuah kamar. Pintu kamar itu bertuliskan Silvia Anindya Rachma. Tian degdegan karena ingin cepat bertemu dengan Silvi. Namun yang dilihatnya hanyalah kamar biasa dan tak ada Silvi di dalamnya. Tian masuk perlahan – lahan sementara matanya memeriksa seluruh sudut ruangan itu. Dilihatnya sebuah buku diatas meja belajar Silvi. “itu buku hariannya.” Kata mama Silvi lembut. Tian masih belum mengerti apa yang terjadi dan dimana Silvi sekarang? Mama Silvi menyuruh Tian membaca semua tulisan pada buku hariannya.

Ternyata sebelum sampai bandara, Silvi mengalami kecelakaan lalu lintas. Silvi nekat menerobos lampu merah karena ia terburu – buru. Dari arah yang berlawanan, sebuah truk yang membawa barang – barang berat langsung menghantam motor Silvi. Ambulan pun segera datang dan membawa Silvi ke Rumah Sakit terdekat. Namun Tuhan berkata lain, Ia menghembuskan napas terakhirnya di ruang UGD. “hanya satu kalimat terakhir darinya yang sempat mama dengar.” Kata mama Silvi setelah menceritakan kronologis kejadian itu kepada Tian. Seketika dada Tian sesak. Air matanya mengalir begitu saja. Ia benar – benar tak menyangka akan seperti ini jadinya. “Tian, kamu adalah sahabat terbaikku..” lanjut mama Silvi. Tian benar – benar merasakan dadanya sesak sekali. Sulit untuknya menarik napas panjang – panjang. “kenapa vi? Kenapa kamu tinggalin aku?” isak Tian sambil memeluk diary Silvi. Harum parfum kesukaan Silvi masih melekat pada diarynya. Didapatnya gelang persahabatan mereka yang kini samar – samar berwarna merah lalu digenggamnya dengan erat. Tangan mama Silvi pun terulur untuk memeluk dan menenangkan Tian. “sudahlah, kamu bisa membuatnya bangga di surga sana. Silvi akan selalu melihat senyummu, bukan tangismu.” Kata mama Silvi. “saya harus pergi ke suatu tempat ma..” kata Tian lalu segera menuju ke suatu tempat. Dengan air matanya yang masih mengalir, ia berlari secepat mungkin. Ia mendaki bukit kecil itu lalu di peluknya dengan erat pohon yang telah terukir nama mereka dan disatukannya gelang miliknya dengan gelang milik Silvi. Hanya gelang itulah yang kini bisa ia bawa dan ia simpan. Sambil meraba ukiran itu, Tian berkata “maafkan aku Silvi, kamu satu – satunya sahabat terbaikku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar